Kaidah Penting Seputar Pembagian Akad

Di antara hal yang seyogyanya kita ketahui sebagai seorang pengusaha, calon pengusaha, pegawai/karyawan atau mungkin masyarakat biasa ialah macam-macam akad dan konsekuensi hukumnya masing-masing. Hal ini sangat penting untuk kita ketahui dan senantiasa kita perhatikan. Dengan menguasai pembagian akad dan konsekuensinya masing-masing, berbagai hukum syariat terkait dengannya menjadi mudah untuk dipahami.1

Jika kita perhatikan tujuan atau maksud berbagai akad yang terjadi antara dua orang/pihak atau lebih, maka kita dapat membagi akad tersebut menjadi tiga macam, yaitu:

1. Akad Komersial

    Akad Komersial adalah akad yang bertujuan untuk mencari keuntungan, sehingga setiap orang yang menjalankan akad ini senantiasa sadar dan menyadari bahwa lawan akadnya sedang berusaha mendapatkan keuntungan dari akad yang ia jalin, demikian juga dengan dirinya.

    Pada akad ini biasanya terjadi suatu proses yang disebut dengan tawar-menawar. Dengan demikian, setiap orang tidak akan menyesal atau terkejut bila di kemudian hari ia mengetahui bahwa lawan akadnya berhasil memperoleh keuntungan dari akad yang telah mereka jalin.

    Contoh nyata dari akad semacam ini ialah akad jual-beli, sewa-menyewa, syarikat dagang, penggarapan tanah (musaqaah), dan lain-lain.

    Secara prinsip, syariat Islam membenarkan bagi siapa saja untuk mencari keuntungan melalui akad semacam ini, bahkan keuntungan yang diperoleh dari akad semacam ini – bila dijalankan dengan cara-cara yang benar – termasuk penghasilan yang halal dan paling baik.

    Dari sahabat Rafi’ bin Khadij ia menuturkan: Dikatakan (kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), “Wahai Rasulullah! Penghasilan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Hasil pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri, dan setiap perniagaan yang baik.” (HR. Ahmad, Ath Thabrani, Al Hakim, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)

    2. Akad Sosial

      Akad Sosial adalah akad yang dijalin guna memberikan penghargaan, pertolongan, jasa baik atau uluran tangan kepada orang yang membutuhkan.

      Biasanya yang menjalin akad semacam ini ialah orang yang sedang membutuhkan bantuan atau sedang terjepit oleh suatu masalah, yang mengakibatkannya membutuhkan kepada uluran tangan saudaranya. Oleh karena itu, orang yang menjalankan akad ini tidak rela bila ada orang yang menggunakan kesempatan dalam kesempitannya ini, guna mengeruk keuntungan dari bantuan yang ia berikan.

      Contoh nyata dari akad semacam ini ialah akad hutang-piutang, penitipan2, peminjaman barang (aariyah), shadaqah, hadiah, wakaf, pernikahan, dan lain-lain.

      Karena tujuan asal dari akad jenis ini demikian adanya, maka syariat Islam tidak membenarkan bagi siapapun untuk memanfaatkan keadaan sebagian orang yang sedang terjepit atau dalam kesusahan untuk mengeruk keuntungan, baik keuntungan materi atau maknawi dari lawan akadnya.

      Allah Ta’ala berfirman (artinya), “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (QS. Al Baqarah: 276)

      Pada ayat ini Allah Ta’ala mengancam para pemakan riba dan kemudian dilanjutkan dengan menyebut ganjaran yang akan diterima oleh orang yang bersedekah. Ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pratik riba adalah lawan dari sedekah. Dan isyarat ini juga dapat kita pahami dengan jelas pada ayat-ayat selanjutnya:

      (artinya), “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 278-280)

      Oleh karena itu dinyatakan dalam satu kaidah yang amat masyhur dalam ilmu fiqh:

      “Setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, maka itu adalah riba.”3

      Terkadang, ada orang yang mengatakan, “Kami diberi tambahan dalam pengembalian hutang sebagai yang kami syaratkan karena sudah sama-sama ridho (alias suka sama suka). Lalu kenapa mesti dilarang?”

      Ada dua sanggahan mengenai hal ini:

      Pertama, ini sebenarnya masih tetap dikatakan suatu kezholiman karena di dalamnya terdapat pengambilan harta tanpa melalui jalur yang dibenarkan. Jika seseorang yang berhutang telah masuk masa jatuh tempo pelunasan dan belum mampu melunasi hutangnya, maka seharusnya orang yang menghutangi memberikan tenggang waktu lagi tanpa harus ada tambahan karena adanya penundaan. Jika orang yang menghutangi mengambil tambahan tersebut, ini berarti dia mengambil sesuatu tanpa melalui jalur yang dibenarkan. Jika orang yang berhutang tetap ridho menyerahkan tambahan tersebut, maka ridho mereka pada sesuatu yang syari’at ini tidak ridhoi tidak dibenarkan. Jadi, ridho dari orang yang berhutang tidaklah teranggap sama sekali.

      Kedua, pada hakikat senyatanya, hal ini bukanlah ridho, namun semi pemaksaan. Orang yang menghutangi (kreditur) sebenarnya takut jika  orang yang berhutang tidak ikut dalam mu’amalah riba semacam ini. Ini adalah ridho, namun senyatanya bukan ridho. (Lihat penjelasan Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di –rahimahullah- dalam Fiqh wa Fatawa Al Buyu’, 10)

      3. Akad Jaminan

        Akad Jaminan adalah akad yang berfungsi sebagai jaminan atas hak yang dihutang oleh salah satu pihak dari yang menjalankan suatu akad. Dengan demikian, akad ini biasanya diadakan pada akad hutang-piutang, sehingga tidak dibenarkan bagi pemberi piutang (kreditur) untuk mengambil keuntungan dari barang yang dijaminkan kepadanya. Bila pemberi hutang mendapatkan manfaat atau keuntungan dari piutang yang ia berikan, maka ia telah memakan riba, sebagaimana ditegaskan dalam kaidah ilmu fiqh di atas.

        Ditambah lagi, harta beserta seluruh pemanfaatannya adalah hak pemiliknya, sehingga tidak ada seorang pun yang berhak untuk menggunakannya tanpa seizin dan kerelaan dari pemiliknya.

        Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya), “Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan jiwa darinya.” (HR. Ahmad, Ad Daruquthni, Al Baihaqi, dan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar dan Syaikh Al Albani dinyatakan sebagai hadits shahih).

        Dikecualikan dari keumuman hukum ini, bila keuntungan tersebut dipersyaratkan ketika akad jual-beli atau sewa-menyewa atau akad serupa dengan keduanya4 yang dilakukan dengan pembayaran dihutang.5

        Misalnya: Bila A menjual mobil kepada B seharga Rp. 50.000.000,- dan dibayarkan setelah satu tahun, dengan jaminan sebuah rumah. Dan A ketika akad penjualan sedang berlangsung, A mensyaratkan agar ia menempati rumah tersebut selama satu tahun hingga tempo pembayaran tiba, dan B menyetujui persyaratan tersebut. maka A dibenarkan untuk menempati rumah milik B yang digadaikan tersebut. karena dengan cara seperti ini, sebenarnya A telah menjual mobilnya dengan harga Rp. 50.000.000,- ditambah ongkos sewa rumah tersebut selama satu tahun.

        Adapun bila akad penjualan telah selesai ditandatangani, maka tidak dibenarkan bagi A untuk menempati rumah tersebut, baik seizin B atau tanpa seizin darinya, sebab bila ia memanfaatkan rumah tersebut, berarti ia telah mendapat keuntungan dari piutang dan itu adalah riba, sebagaimana ditegaskan dalam kaidah ilmu fiqh di atas.

        Di antara akad yang tergolong ke dalam kelompok ini ialah akad pegadaian (rahnu), jaminan (kafalah), persaksian (syahadah), dan lain-lain.

        Dengan memahami pembagian akad ditinjau dari tujuannya semacam ini, kita dapat memahami alasan dan hikmah diharamkannya riba. Sebagaimana kita dapat memahami hikmah pembedaan antara riba dengan akad jual-beli:

        (artinya), “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275)

        Di antara faedah mengetahui pembagian akad ditinjau dari tujuannya semacam ini, akan nampak di saat terjadi perselisihan yang diakibatkan oelh adanya cacat pada barang yang menjadi obyek suatu akad. Karena adanya cacat pada obyek tersebut akan sangat berpengaruh pada proses akad jenis pertama. Tetapi keberadaan cacat tersebut tidak memiliki pengaruh apapun pada akad jenis kedua dan ketiga. [Evan Rizaldhi]

        Sumber:

        • Sifat Perniagaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, penulis Dr. Muhammad Arifin bin Badri, M.A., hal. 39-45, penerbit Pustaka Darul Ilmi.
        • Riba Karena Penundaan, penulis Muhammad Abduh Tuasikal, S.T. dalam http://rumaysho.com

        ———-

        1) Pembagian macam-macam akad ini disarikan oleh ustadz Dr. Muhammad Arifin bin Badri, M.A. dari beberapa referensi berikut: Qawa’idh Ibnu Rajab Al Hambali 1/375, kaidah ke-52, dan 2/418, kaidah ke-105; Al Muwafaqat oleh Asy Syathibi 3/199; Asy Syarhul Mumti’ oleh Syaikh Ibnul Utsaimin 8/278, 9/120, 127-129; Ad Dirasyat Asy Syar’iyyah li Ahammil Uqud Al Maliyyah Al Mustahdatsah, oleh Dr. Muhammad Musthafa Asy Syinqithi 1/73-89.

        2) Yang dimaksud dengan penitipan di sini ialah penitipan yang tanpa dipungut upah. Adapun penitipan yang sering terjadi di masyarakat, misalnya penitipan sepeda motor, mobil, atau lain-lain yang dipungut biaya penitipan, maka akad ini sebenarnya bukan akad penitipan, akan tetapi akad jual-beli jasa, yang diistilahkan dalam ilmu fiqh dengan akad ijarah (kontrak kerja).

        3) Baca Al Muhadzdzab, oleh Asy Syairazi, 1/304, Al Mughni, oleh Ibnu Qudamah, 4/211 dan 213, Asy Syarhul Mumti’, 9/108-109 dan lain-lain.

        4) Yang dimaksud dengan akad yang serupa dengan keduanya ialah seluruh akad yang bertujuan untuk mencari keuntungan.

        5) Baca Majmu’ Fataawaa Al Lajnah Ad Daa’imah, 14/176-177, fatwa no. 20244.

        Leave a comment